01 March 2008

Blog telah dipindah

Terima kasih atas kunjungannya. Namun demikian, saya mohon maaf, karena blog telah dipindahkan ke penginyongan.wordpress.com
Sekali lagi terima kasih dan mohon maaf atas ketidaknyamanan yang Anda rasakan.

19 April 2006

Menuju Monumen Pers sebagai Center of Excellence Pers Nasional

(Disampaikan pada Rapat Kerja Monumen Pers, 18 April 2006)

Pengatar
Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa Monumen Pers di kota Solo, yang pada mulanya dikenal sebagai Societeit Sasono Suko dan dibangun 1918 ini, diharapkan memberikan peran yang lebih ketimbang hanya dikenal sebagai tempat pertama kali berlangsungnya kongres dan pembentukan wartawan Indonesia pada 9-10 Februari 1946 oleh sekitar 200 wartawan. Selama ini, sebagian orang juga hanya mengingat monumen ini pada setiap tanggal 9 Februari saat memperingati Hari Pers Nasional.
Peran yang lebih besar itu semakin menemukan relevansinya mengingat persoalan informasi merupakan persoalan strategis bagi semua bangsa. Klaim bahwa saat ini peradaban manusia telah memasuki apa yang kerap dinamakan sebagai “the information age” menjadikan bangsa kita yang tengah berjuang keluar dari pelbagai persoalan besar harus menempatkan persoalan informasi ini sebagai salah satu agenda penting strategi mengatasi persoalan itu.
Ditambah lagi, media massa, yang merupakan salah satu institus paling penting dalam masyarakat modern, semakin menunjukkan dominasi pengaruhnya terhadap tata kehidupan masyarakat di semua dimensi. Media, yang bersifat omniprsence itu – hadir di mana saja, kapan saja, dalam kehidupan siapa saja – layak mendapatkan perhatian yang lebih, mengingat kemampuannya mendistribusikan informasi secara masif, mensosialisasikan nilai dan ideologi, memprovokasi perilaku anak secara intensif, menjadi sumber hiburan primer dan pengisi waktu lung sebagian besar masyarakat, harus bisa difahami secara benar oleh konsumen media sendiri.
Atas dasar itu, kehendak pengelola untuk menjadikan Monumen Pers sebagai Pusat Studi Pers Nasional, obyek wisata ilmiah di bidang pers dan menjadi agen diseminasi informasi rasanya harus disambut dengan bahagia oleh pelbagai pihak. Beberapa catatan berikut merupakan sedikit dari demikian terbukanya kemungkinan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Monumen Pers sebagai Pusat Studi Pers Nasional
 Sejauh ini masyarakat mengenal beberapa institusi yang bergerak di bidang kajian pers, seperti Institut Studi Arus Informasi (ISAI, Jakarta), LP3Y, Jogjakarta), Lembaga Konsumen Media (LKM, Surabaya), Studi Pemberdayaan Komunikasi (Spikom, Solo) dan beberapa yang lain yang menjadi bagian dari sebuah institusi yang lebih besar, seperti The Habibie Center (Jakarta). Perlu dicatata bahwa semua institusi yang disebutkan di atas merupakan institusi yang didirikan dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat, teutama mereka yang memiliki minat dan kemampuan di bidang pers, atau media secara umum.
 Monumen Pers tampaknya memiliki resources untuk menjadi institusi yang melakukan kajian-kajin terhadap dunia pers Indonesia. Sumber daya itu misalnya dalam bentuk akses terhadap semua institusi pers beserta segala informasi tentang mereka, akses terhadap lembaga-lembaga informasi publik, serta tentu saja sumber daya manusia dan pendanaan yang mencukupi.
 Yang patut dipikirkan kemudian adalah, sebuah “pusat studi pers” berimplikasi pada suatu institusi yang diharapkan menjadi pusat rujukan bagi “siapa saja” – baik individu ataupun lembaga – yang ingin mengetahui/mempelajari “apa saja” – mulai dari sejarah, dinamikan, kebijakan, strategi dan sebagainya – tentang pers nasional itu – sesuai dengan label yang disandangnya. Mengingat cakupan yang begitu luas, akan lebih baik bila pendirian studi ini memilih untuk membuat fokus dan prioritas dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimliki, untuk kemudian dikembangkan ke wilayah yang lebih komprehensif tentang dunia pers Indonesia.
 Mengingat pusat studi memerlukan sumber daya – khususnya informasi dan kompetensi – yang sangat luas, maka kolaborasi dan networking dengan institusi dengan minat sejenis perlu dilakukan. Monumen Pers bisa berkolaborasi dengan perguruan tinggi untuk mendapatkan akses terhadap peneliti komunikasi/media/informasi, dengan institusi industri pers untuk akses terhadap sumber-sumber data maupun materi pers, dengan lembaga-lembaga informasi publik untuk sumber kebijakan dan strategi informasi, dengan lembaga-lembaga swadaya di bidang pers/informasi/media untuk joint research, misalnya.

Monumen Pers sebagai Obyek Wisata Ilmiah
 Salah satu problem yang menonjol bagi masyarakat urban di negara ini adalah ketiadaan ruang publik bagi masyarakat. Ruang publik yang dimaksud adalah sebuah lanskap yang bisa dimanfatkan oleh masyarakat untuk saling berinteraksi secara sosial sekaligus memenuhi fungsi dasar manusia sebagai “homo ludens”. Bentuk ruang pubik semacam ini, dalam masyarakat yang “sehat”, misalnya adalah taman kota, museum, galeri publik, monumen dan sebagainya. Dalam situasi semacam itu, sebenarnya ada peluang yang lebar bagi monumen pers untuk memfungsikan diri sebagai ruang publik termaksud, dengan membuka akses yang lebih luas bagi publik untuk memnafaatkan monumen ini sebagai sebuah “plaza” – tempat bertemunya pelbagai kalangan.
 Hal lain yang patut diperhatikan adalah bagaimana sebagian besar remaja kita – yang kerap dijuluki sebagai “generasi MTV” – mulai dikhawatirkan lagi tidak memiliki atensi yang memadai tentang pers. Itu mengapa, misalnya, KOMPAS melakukan kampanye untuk membidik khalayak generasi muda.
 Menjaring perhatian dari khalayak muda tentu merupakan pekerjaan tidak ringan, karena pers harus bersaing dengan institusi lain yang juga berkepentingan dengan mereka. Karenanya, menjadikan Monumen Pers menjadi obyek wisata ilmiah barangkali bisa menjadi langkah awal ke arah itu.
 Ke luar, pengelola nampaknya harus lebih kreatif dalam mensosialisasikan keberadaan monumen ini, mengkampanyekan “media literacy” ke khalayak secara lebih intensif, serta secara agesif melakukan kegiatan semacam “road show” ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan diri. Sementara ke dalam, pengelola juga tampaknya perlu melkukan pembenahan terhadap koleksi, artefak, penataan, serta “paket” dan “produk” lain yang marketable – kemedol (jw) – bagi publik. Meningkatkan “product knowledge” bagi pengelola juga suatu keharusan, mempersiapkan “tour guide” juga harus dipersiapkan. Karena wisata, termasuk juga wisata ilmiah, adalah suatu produk jasa, maka penerapan quality insurance di bidang pelayanan perlu diperhatikan.

Agen Diseminasi dan Informasi
 Semenjak persoalan informasi sepenuhnya pengelolaan diserahkan kepada masyarakat, tampaknya terjadi kegagapan di kalangan tertentu dalam menyampaikan informasi “pembangunan”. Akibatnya, ketika dahulu, saat Departemen Penerangan masih ada, alur informasi memiliki jalur yang pasti, sekarang tidak lagi. Meskipun gagasan pengelolaan informasi oleh masyarakat sendiri tidaklah buruk, pada kenyataannya tetap saja ada pesoalan-persoalan yang belum terselesaikan di bidang diseminasi informasi ini. Barangkali, itulah gagasan yang mendasari untuk menjadikan monumen pers sebagai agen diseminasi informasi.
 Sejauh yang difahami, agen diseminasi dan informasi adalah pihak yang melakukan penyebarluasan tentang suatu informasi kepada khalayak. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa monumen pers akan bertambah pekerjaannya menjadi “agen pusat” dalam menyebarkan informasi ke daerah-daerah. Bila memang demikian pengertiannya, maka ini merupakan sebuh pekerjaan yang sama sekai tidak ringan.
 Persoalan diseminasi informasi yang dihadapi saat ini tampaknya lebih pada persoalan penataan mekanisme dari institusi-institusi yang terkait, baik di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Karenanya, bila sinyalemen ini benar, maka harus ada penyelesaian persoalan tersebut terlebih dahulu.
 Selanjunya, monumen pers bisa menjadi semcama “supporting agent” yang memfasilitasi diseminasi infomasi sampai pada khalayak. Misalnya memberikan asistensi dan fasilitasi kepada badan-badan informasi kabupaten/kota, mensupply informasi kepada media-media massa dalam bentuk profil program maupun release dan sebagainya.


Beberapa catatan lain
 Di samping upaya elaborasi fungsi Monumen Pers sebagaimana yang sedang difikirkan, yang juga harus diperhatikan tentu saja adalah memaksimalkan fungsi-fungsi dan pelayanan yang selama ini sudah ditetapkan. Misalnya adalah sebagai referensi, terutama mahasiswa komunikasi, untuk mencari data-data tentang media massa cetak di Indonesia. Selama ini, yang ada di benak publik adalah, kalau ingin mencari koleksi koran atau majalah, monumen pasti bisa diandalkan. Hanya saja, pemikiran yang demikian tampaknya belum bisa diwujudkan sepenuhnya.
 Selama ini ada beberapa tempat yang dijadikan “kongkow” para wartawan yang ada di Solo. Mengapa bukan monumen yang dijadikan pilihan untuk berkumpul itu? Barangkali ada baiknya bila monumen juga membuka ruang diskusi informal, misalnya, bagi para jurnalis di kota ini.
 Perkembangan teknologi informasi saat ini tidak bisa diabaikan lagi. Karenanya, sangat diharapkan agar monumen pers, baik untuk kepentingan menjaga koleksinya, mensosialisasikan keberadaannya maupun untuk mengimplementasikan program-programnya serta memberikan akses yang lebih luas kepada khalayak untuk memanfaat teknologi itu.
 Jurusan Ilmu Komunikasi UNS banyak melakukan penelitian tentang pers maupun media secara umum, baik yang dilakukan oleh staf pengajar maupun mahasiswa. Hasil-hasil dari penelitian itu terbuka untuk didiskusikan maupun dipublikasikan. Jurusan juga sangat terbuka untuk melakukan aktivitas dengan institusi lain di bidang penelitan, pengembangan dan pelatihan serta konsultasi di bidang komunikasi, termasuk pers dan informasi.

Penutup
Demikian beberapa catatan yang bisa disampaikan dalam forum ini. Tentu saja apa yang termuat di sini menyisakan beberapa hal yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Untuk, elaborasi dan diskusi sangat diharapkan, sehingga dapat membantu mewujudkan Monumen Pers sebagai center of excellence pers nasional.

Semoga bermanfaat